Beranda | Artikel
Sholat di Masjid Yang Dibangun dari Hasil Riba
Senin, 5 Mei 2014

(1) Harta yang haram karena mengambil harta orang lain (seperti hasil mencuri, menipu, dan menzolimi orang lain) maka harta seperti ini tidak boleh digunakan sama sekali meskipun untuk kebaikan. Akan tetapi wajib untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Atau dikembalikan kepada ahli warisnya jika sang pemilik harta telah meninggal dunia.

Jika –setelah dicari- ternyata pemilik harta tidak diketahui dan juga tidak diketahui ahli warisnya maka tatkala itu ia boleh menggunakan harta tersebut untuk jalan-jalan kebaikan. Bukan dalam rangka mencari pahala (bersedekah) akan tetapi dalam rangka membersihkan diri dari menyimpan harta haram, dan pahalanya diniatkan untuk pemilik asli harta tersebut.

(2) Adapun jika harta haram tersebut diperoleh bukan dengan mengambil hak orang lain, tapi karena hasil yang haram seperti harta yang diperoleh karena bermain musik, atau karena berzina, karena praktek perdukunan dan yang lainnya maka bisa langsung disalurkan sebagaimana di atas.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

إذَا كَانَتْ الْأَمْوَالُ قَدْ أُخِذَتْ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَدْ تَعَذَّرَ رَدُّهَا إلَى أَصْحَابِهَا كَكَثِيرِ مِنْ الْأَمْوَالِ السُّلْطَانِيَّةِ؛ فَالْإِعَانَةُ عَلَى صَرْفِ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ كَسَدَادِ الثُّغُورِ وَنَفَقَةِ الْمُقَاتِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ: مِنْ الْإِعَانَةِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى؛ إذْ الْوَاجِبُ عَلَى السُّلْطَانِ فِي هَذِهِ الْأَمْوَالِ – إذَا لَمْ يُمْكِنْ مَعْرِفَةُ أَصْحَابِهَا وَرَدُّهَا عَلَيْهِمْ وَلَا عَلَى وَرَثَتِهِمْ – أَنْ يَصْرِفَهَا – مَعَ التَّوْبَةِ إنْ كَانَ هُوَ الظَّالِمُ – إلَى مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ. هَذَا هُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ كَمَالِكِ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَد وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَعَلَى ذَلِكَ دَلَّتْ الْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ

“Jika harta telah diperoleh dengan cara yang tidak benar dan tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya yang sesungguhnya –sebagaimana kebanyakan harta para sulthon- maka membantu untuk menyalurkan harta-harta ini kepada perkara-perkara yang merupakan kemaslahatan kaum muslimin, seperti pembayaran untuk penjagaan di daerah-daerah perbatasan, untuk nafkah para mujahidin dan yang semisalnya, maka termasuk dalam menolong untuk perbuatan kebajikan dan ketakwaan. Karena yang wajib bagi sulthon terhadap harta-harta tersebut –jika tidak mampu mengetahui para pemilik harta tersebut dan tidak mampu untuk mengembalikan kepada mereka dan kepada para ahli warisnya- maka hendaknya harta tersebut disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, tentunya disertai taubat jika sang shulton memang dzolim. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, dan pendapat ini dinukil lebih dari seorang sahabat dan telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i” (Majmu’ Al-Fataawa 28/283-284)

Al-Imam An-Nawawi berkata :

قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ … وَإِذَا دَفَعَهُ إلَى الْفَقِيرِ لَا يَكُونُ حَرَامًا عَلَى الْفَقِيرِ بَلْ يَكُونُ حَلَالًا طَيِّبًا…ونقله الْغَزَالِيُّ أَيْضًا عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ وَغَيْرِهِ مِنْ السَّلَفِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَالْحَارِثِ الْمُحَاسِبِيِّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ إتْلَافُ هَذَا الْمَالِ وَرَمْيُهُ فِي الْبَحْرِ فَلَمْ يَبْقَ إلَّا صَرْفُهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ

“Al-Ghozali berkata : Jika ia memiliki harta haram dan ingin bertaubat dan berlepas dari harta tersebut maka jika harta tersebut ada pemiliknya maka wajib untuk dikembalikan kepadanya atau kepada wakilnya, jika pemiliknya telah meninggal maka harta tersebut wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Dan jika pemiliknya tidak diketahui  dan ia sudah putus asa untuk mengetahui pemiliknya maka hendaknya ia salurkan harta tersebut kepada kemaslahatan-kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti pembuatan jembatan-jembatan, pondok-pondok, mesjid-mesjid, kepentingan jalan  Mekah dan yang semisalnya yang mana kaum muslimin sama-sama menggunakannya. Jika tidak maka hendaknya ia sedekahkan kepada seorang faqir atau sekelompok faqir…

Dan jika ia menyalurkannya kepada orang faqir maka harta tersebut tidaklah haram bagi si faqir akan tetapi halal dan baik baginya…

Dan Al-Ghozali juga menukilkan pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para salaf yang lain, dari Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Harits Al-Muhasibi dan selain keduanya dari kalangan ahli waro’. Karena tidak boleh merusak harta haram ini dan melemparkannya di lautan, maka yang tersisa adalah disalurkan kepada kemaslahatan kaum muslimin” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 9/351)

(3) Dari penjelasan Al-Imam An-Nawawi maka kelazimannya boleh sholat di masjid-masjid yang dibangun dari harta haram. Dan ini juga yang telah difatwakan oleh Syaikh Bin Baaz rahimahullah, beliau berkata :

فالمساجد التي تبنى بمالٍ حرام، أو بمالٍ فيه حرام لا بأس بالصلاة فيها، ولا يكون حكمها حكم الأرض المغصوبة؛ لأن الأموال التي فيها حرام أو كلها من حرام تصرف في المصارف الشرعية ولا تترك ولا تحرق، بل يجب أن تصرف في المصارف الشرعية، كالصدقة على الفقراء وبناء المساجد وبناء دورات المياه، ومساعدة المجاهدين، وبناء القناطر، وغيرها من مصالح المسلمين

“Dan masjid-masjid yang dibangun dengan harta haram atau dengan harta yang sebagiannya haram maka tidak mengapa sholat di situ, dan hukumnya tidak sama dengan hukum tanah rampasan, karena harta-harta yang sebagiannya haram atau seluruhnya haram disalurkan kepada perkara-perkara yang syar’i tidak dibuang dan tidak dibakar, akan tetapi disalurkan kepada penyaluran yang syar’i, seperti sedekah kepada para fuqoro’, pembangunan masjid, pembangunan toilet, membantu para mujahidin, pembangunan jembatan, dan kemaslahatan kaum muslimin yang lainnya” (lihat http://www.binbaz.org.sa/mat/15776)

(4) Jika diketahui bahwa masjid tersebut dibangun dengan uang haram sementara pemilik harta membangunnya bukan dalam rangka bertaubat akan tetapi seperti hendak bersedekah maka sedekahnya tidak akan diterima dan sholat di situ tetap sah dan dosanya kembali kepada pemilik harta.

Al-Lajnah Ad-Daaimah ditanya :

ما حكم من صلى بمسجد بناؤه كسب غنائه -أي المطربة أو المغني الذي يغني في الأفراح والإعلام- ويكسب من غنائه أموالاً كثيرة، وبنى من هذه الأموال مسجداً، فهل تصح صلاته فيه أم لا‏؟‏

Apa hukum sholat di masjid yang dibangun dari hasil nyanyian –yaitu dengan alat muslik, atau penyanyi yang bernyani di acara-acara pesta atau di TV- dan sang penyanyi memperoleh harta yang yang banyak dari hasil nyanyiannya lalu ia membangun mesjid dengan harta tersebut, apakah sah sholat di masjid tersebut?

ج‏:‏ الصلاة في هذا المسجد صحيحة وأما الكسب بالغناء وآلات اللهو فمحرم وإثمه على صاحبه

Jawab : Sholat di masjid tersebut shahih, adapun penghasilan dari nyanyian dan alat-alat muslik adalah haram dan dosanya kembali kepada pelakunya (Fatwa no 9564 yang ditanda tangani oleh ketua Al-Lajnah yaitu Syaikh Bin Baaz rahimahullah. Lihat http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=95431)

(5) Dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah diatas jelas bahwa membantu untuk menyalurkan harta yang seperti ini kepada penyaluran yang syar’i termasuk bentuk ta’aawun ‘alal birri wat taqwa (kerja sama dalam kebaikan). Maka merupakan hal yang baik adalah penyediaan sunduq untuk penyaluran riba yang sangat membantu orang-orang yang terjebak dengan uang riba atau uang haram untuk berlepas diri dari uang haram mereka dan membantu penyalurannya yang lebih tepat, wallahu A’lam

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 06-07-1435 H / 05-05-2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

 

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1141-sholat-di-masjid-yang-dibangun-dari-hasil-riba.html